Minggu, 29 Mei 2016

PAWANG MENDALA BAYAN KLU





PAWANG MENDALA BAYAN KLU

Kata Mendala berasal dari dua suku kata yaitu Ma dan Bendala. Ma berarti pemberian, dan Bendala berarti tempat menyimpan sesuatu (sejenis peti). Dan bila dua kata itu digabung menjadi satu kata yaitu Mendala yang berarti pemberian dari Tuhan.

Hutan Mendala yang didalamnya memiliki beberapa sumber mata air merupakan hutan tutupan adat yang artinya dilindungi secara adat dengan awiq-awiq. Luasnya tidak besar. Dan berdasarkan hasil pengukuran yg dilakukan dinas kehutanan pada tahun 2012 lalu, luasnya hanya 1359 m2, atau 0.13 ha.

Hutan Mandala diyakini masyarakat Bayan sebagai tempat sakral, karena di salah satu bagian terdapat Mesjid Bakeq atau mesjidnya para jin. Sumber mata air yang ada di Mandala diyakini mempunyai hubungan lagnsung dengan air yang berada di Danau Segara Anak Gunung Rinjani.

Gunung Rinjani merupakan jatung kehidupan masyarakat di Pulau Lombok, karena seperti diketahui, 90 % mata Air yang berada di Pulau Lombok itu terdapat di hutan kawasan Gunung Rinjani. Jadi air dari Gunung Rinjani ini menjadi sumber kehidupan di Pulau Lombok.



Keberadaan Hutan Mandala kaya dengan nilai-nilai luhur budaya. Salah satunya adalah konsep “Pemalik” yaitu ketika seseorang hendak masuk ke hutan secara sembarangan,akan mendapat musibah atau gangguan di kemudian hari. Dan apabila hutan Mandala dirusak serta kayunya ditebang, maka perusak tersebut diwajibkan membayar denda adat yang harus dipenuhi.

Tampak di bawah rimbunnya pohon, air bening mengalir menuju persawahan seluas 600 hektare, serta melintasi Karang Bajo, Desa Bayan, dan Loloan.

Daun-daun merah berguguran, menghampar bak karpet menutupi bantaran. Kami duduk di batu di bantaran yang dipenuhi vegetasi seraya menyimak penjelasan pemandu, dan menyaksikan anak-anak bermandi dengan riang di sungai berair dingin itu, sementara sebagian lain bermain sembari membelah biji kenari tak jauh dari kami.

Kejernihan, sumber mata air Mandala boleh dikatakan paling juara se-NTB. Hal ini tidak terlepas peran warga setempat dalam menjaga sumber mata air. Pemangku (pengelola) menegakkan awiq-awiq(aturan lokal) bila terjadi pelanggaran oleh warga dalam menjaga dan melestarikan mata air. Ada dua ketentuan awiq-awiq yang berlaku di hutan adat (pawang). Pertama, setiap orang dilarang menebang pohon tanpa seizin pemangku. Kedua, setiap orang dilarang merambah dan membakar hutan adat. Pelanggar awiq-awiq dapat dikenakan denda seekor kambing, uang Rp 10.000, dan beras satu gantang (setara 3,125 kg).



Mata air Mandala adalah berkah bagi warga Desa Bayan. Ketika musim hujan debit air akan tinggi, ketika musim kering debit air tetap. Ritual adat saat musim panen tiba kerap dilakukan di hutan tempat mata air mengalir.

Selain mata air, warga setempat juga melestarikan bangunan. Salah satunya, Masjid Bayan Beleq, tertua di Desa Bayan. Kompleks masjid dan pemakaman menjadi satu berbatas pagar tembok berlumut. Kami menuruni tangga batu untuk melihat masjid berfondasi dari batu alam, berdinding bambu, beratap rumbia, serta bersisian dengan areal sawah ini. Sayang, setibanya di halaman masjid, penjaga melarang kami masuk. Oh, rupanya sedang dilangsungkan upacara pernikahan.
Tak lama, pemangku adat Desa Bayan, Rd. Kedarif, datang menemui kami. Pria yang biasa dipanggil Mamik ini mulai menceritakan sejarah masjid yang dibangun sejak abad ke-17 oleh Datuk Bayan, sang Raja Bayan sebelum agama Islam masuk desa ini.



“Bukan hanya masjid, bekas kerajaan Bayan pun masih ada di Bayan Timur. Pembawa Islam ke Bayan dari Wali Songo,” jelas Mamik seraya menerangkan betapa unik peleburan nuansa Islami dan budaya Jawa dari sang wali. “Sebagian warga asli Bayan masih mengucapkan dua kalimat syahadat menggunakan bahasa Jawa kuno, atau melafalkan doa berbahasa Arab bercampur bahasa Jawa Kuno.”

Beberapa ritual keagamaan masih dipegang teguh umat di sini. Salah satunya, maulid adat, yang dilakukan setiap tahun pada Rabiul Awal. Ritual ini melibatkan keseluruhan warga adat Wet Bayan dan berpusat di Mesjid Kuno Bayan Beleq.

Rumah-rumah adat tradisional pun tidak luput dari upaya pemeliharaan dan pelestarian oleh warga Desa Bayan. Biasanya rumah-rumah panggung yang disebut kampu ini menjadi hunian bagi para tokoh pranata adat setempat, seperti kiyai, lebe, pemangku, pembeker, dan melokak (tetua). Jadi tidak sembarang orang bisa masuk, kecuali dalam acara-acara tertentu dan mendapat izin dari pemangku atau melokak-nya.

MITOLOGI PAWANG MANDALA

Dikisahkan pada satu ketika Mandala mengambil selendang bidadari yang sedang mandi di salah satu sumber mata air sehingga membuat sang bidadari tidak dapat kembali (terbang) ke istana langit,Kemudian muncul Sang Mandala yang telah menyembunyikan selendang tersebut dan menawarkan jika sang bidadari mau diperistri, maka selendang tersebut akan dikembalikan. Akhirnya dengan sedikit putus asa Sang Bidadari memenuhi tawaran tersebut dan ternyata ia juga menaruh hati kepada sang Mandala, Mereka kemudian menjadi pasangan suami istri sampai mempunyai keturunan.



Wujud syukur masyarakat terhadap kelestarian hutan dan melimpahnya ketersediaan air yang ada di hutan mandala, pada setiap tahunnya diadakan selamatan Mata Air atau Roah Pengembulan dihadiri oleh seluruh petani pemakai air, dan secara sukarela mereka membawa masing-masing satu ekor ayam dan bahkan kerbaupun kadang di bawa untuk disemblih di mata air dan sebagai hidangan untuk dinikmati bersama-sama sampai acara selamatan itu ditutup oleh kiayi dengan do’a sebagai rasa syukur kehadirat Allah Swt.

Tradisi Dan cerita Rakyat tersebut menjadi landasan sejarah bagi hutan adat mendala. Dan satu tempat yang hingga kini dikelola dan dilestarikan sesuai konsep adat maupun hukum adat yang berlaku, baik terhadap mendala sebagai hutan tutupan adat yang harus selalu dijaga kelestariannya maupun mendala sebagai sumber mata air yang jika hutanya lestari maka air dapat terus mengalir ke sawah-sawah petani atau dimanfaatkan sebagai air minum perpipaan untuk desa-desa tetangga.
Adapun beberapa sumber mata air yang ada di hutan adat Mandala adalah Lokoq Jawa, Nama ini berkaitan dengan sejarah penyebaran agama Islam di Bayan. Di hutan ini konon pernah beristirahat seorang mubalig (salah satu murid Wali Songo). Untuk mengenang tempat tersebut, maka salah satu sumber mata air yang ada di Hutan Mendala di beri nama Lokoq Jawa yang menunjukan asal mubaliq tersebut.



Tidak jauh dari hutan Mendala juga ada satu tempat yang diberi nama Ampel Duri yang menguatkan cerita, bahwa salah satu mubalig yang menyebarkan syiar Islam tersebut adalah murid dari sunan Ampel.

Sumber mata air lainnya yang di Mandala adalah Mata Air Boro’ Tioq. Mata air Baro’ tioq atau baru muncul ini kelihatan sejak 15 tahun terakhir ini. Dan sumber mata air ini sekaligus menambah debet air di hutan adat mandala. Tidak jauh dari tempat ini terdapat lokasi selamat olor. Selamat olor sendiri adalah acara yang dilaksanakan setahun sekali sebagai wujud syukur masyarakat atas melimpahnya debit air yang mengalir kesawah sawah petani.

Air yang keluar dari mata air di hutan Mandala ini mengairi 112 Ha sawah di Desa Bayan dan menjadi sumber air bersih bagi sedikitnya 390 keluarga di Bayan dan 1.826 keluarga di 3 desa lain si sekitarnya yaitu Loloan, Karang Bajo dan desa Anyar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar